Banyuwangi sebagai salah satu basis masyarakat santri di Tapal Kuda
(pesisir timur pulau Jawa) menyimpan berbagai kisah heroik yang belum
banyak diketahui oleh masyarakat luas. Dan sebagai daerah yang cukup
jauh dari pusat kekuasaan, Banyuwangi menyimpan kharismanya sendiri.
Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan kesaktian
para kyainya. Salah satu di antara kyai-kyai sakti tersebut adalah KH
Saleh Lateng, salah seorang pendekar sakti keturunan raja-raja Palembang
Sumatera.
Sejarah Keluarga
Pada kisaran perempat perteama abad ke-19, Kerajaan Palembang Darussalam
telah kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri. Sultan Najamuddin
dibuang oleh Belanda ke Banda Aceh dan pemerintahan palembang
dikendalikan oleh seorang Residen Belanda. Banyak para bangsawan
menyingkir keluar daerah, salah satunya adalah Kiagus Abdurrakhman,
kakek Kyai Saleh Lateng. Kiagus Abdurrakhman ini kemudian menetap di
Sumenep dan menikah dengan seorang perempuan setempat bernama Najihah.
Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Namun hanya seorang yang
kemudian meneruskan silsilah keturuanan, yakni Kiagus Abdul Hadi
–ayahanda Kyai Saleh, yang kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.
Terlahir di Kampung Mandar Kota Banyuwangi pada hari Ahad, 6 Ramadhan
1278 H. bertepatan dengan 07 Maret 1862 M. dengan nama Kiagus Muhammad
Saleh. Ibunya berasal dari Panderejo Banyuwangi bernama Aisyah. Nama
Kyai Saleh ini yang terkenal selama hidup hingga sepeninggalnya. Meski
setelah berhaji, namanya berganti menjadi H Muhammad Syamsuddin, namun
dalam keseharian Beliau selalu menuliskan namanya dengan Saleh saja.
Dengan demikian ia tetap dikenal oleh masyarakat sebagai Kyai Saleh
saja.
Banyuwangi pada masa kecil Kiagus Muhammad Saleh berada dalam kondisi
yang sangat memprihatinkan, baik dari sisi material maupun secara
spiritual. Rakyat miskin akibat penjajahan dan suasana pertengkaran
antar kelompok masyarakat menjadikan suasana semakin menakutkan. Gank-gank
yang terbukti tidak berdaya melawan kekuatan asing, saling terlibat
permusuhan dan pertikaian untuk menaikkan gengsi pribadi dan golongan.
Belum lagi hasutan politik adu domba Belanda yang menjadikan kondisi ini
terus berlarut-larut.
Kendati terlahir di tengah kemerosotan moral masyarakat, namun masa
kecil Kiagus Muhammad Saleh dilalui dengan cara-cara sangat islami.
Sedari kecil Muhammad Saleh belajar mengaji kepada ibu dan bapaknya,
serta lingkungan keluarganya. Pada usia remaja Saleh mulai belajar
mengaji ke luar daerah. Pada usia 15 tahun, Saleh mondok di Kyai Mas
Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak lama kemudian, ia meneruskan
pelajarannya ke Bangkalan Madura, kepada Kyai Kholil. Di Bangkalan ini,
Saleh menjadi khodim (pelayan) Kyai Kholil. Termasuk bersedia menemani anak Kyai kholil, Hasan mencari uang, untuk keperluan berangkat Haji.
Selama di bangkalan ini pula Saleh belajar berbagai ilmu, termasuk
ilmu-ilmu kesaktian yang kelak akan digunakan secara langsung untuk
memperbaiki masyarakatnya. Selain di Bangkalan, Saleh juga meneruskan
pencarian ilmunya hingga ke Bali, yakni kepada Tuan Guru Muhammad Said
Jembrana, Bali.
Selepas menuntut ilmu di Bali, Saleh bertekad meneruskan pelajarannya ke
Tanah Suci. Saleh menghabiskan masa belajarnya di Mekkah selama enam
tahun sebelum diminta pulang oleh gurunya, Kyai Kholil Bangkalan. Kala
itu, selain belajar, Saleh juga telah mengembangkan ilmunya kepada para
pelajar lainnya di sana. Saleh telah membuka pengajian di Mekkah dengan
menggunakan empat bahasa. Namun Saleh meminta waktu satu tahun lagi
untuk Belajar di sana. Permintaan ini pun diijinkan oleh gurunya
tersebut.
Setahun kemudian, kira-kira tahun 1900 M. sekitar umur 38 tahun, Kiagus
Saleh kembali ke kampung halamannya di Banyuwangi. Kiagus Saleh kemudian
menetap di kampung Lateng Banyuwangi, dan selanjutnya terkenal sebagai
Kyai Saleh Lateng. Kyai Saleh secara resmi mendapatkan ijin mengajar di
langgarnya di Lateng dari Bupati Banyuwangi, Koesoemonegoro pada 4 Maret
1909 M. Dari sinilah Beliau mulai mengabdikan dirinya untuk perbaikan
kualitas masyarakat Banyuwangi. Sedikit-demi sedikit, wilayah dakwahnya
semakin meluas hingga ke seluruh penjuru Banyuwangi.
Dalam pengajaran kepada murid-muridnya, Kyai Saleh Lateng sangat
menjunjung sikap tegas terhadap penjajahan. Ia sering berpesan kepada
santri-santrinya untuk berusaha keras menjadi orang pintar agar tidak
terus dijajah oleh bangsa lain. Selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, Kyai
Saleh juga mengajarkan kesaktian-kesaktian yang dipelajarinya sejak
mondok di Bangkalan. Dengan demikian, murid-murid Kyai Saleh bukan hanya
terdiri dari kaum santri yang taat beribadah. Melainkan juga para
jagoan dan bromocorah-bromocorah setempat yang ingin menambah kesaktian. Sehingga banyak sekali algojo dan tanjak seblang di seluruh wilayah Banyuwangi yang menjadi santrinya.
Dari sinilah kemudian Kyai Saleh lateng muncul sebagai tokoh pemersatu
masyarakat Blambangan. Kelompok-kelompok yang tadinya bertikai, mulai
disatukan dengan alasan sesama murid dari lateng dilarang saling
bermusuhan. Lambat laun para jagoan lokal dan para penyamun jalanan
mulai menghentikan operasinya, karena mematuhi perintah Kyai Saleh
Lateng. Semboyan “satu guru jangan saling mengganggu” rupanya mampu
meredam perpecahan di antara masyarakat Banyuwangi kala itu. Sebagai
sesama murid Kyai Saleh Lateng, mereka mulai menghentikan pertikaian dan
permusuhan.
Kepada masyarakatnya, Kyai Saleh sangat mengayomi dan membuka konsultasi
seluas-luasnya. Mengedepankan saling silaturrahim dan mendamaikan
mereka yang sedang terlibat pertengkaran. Dengan demikian
berangsur-angsur terbangunlah persatuan dan kesatuan Banyuwangi.
Kehidupan Keorganisasian
Sebagai salah satu tokoh kunci persatuan masyarakat Banyuwangi, Kyai
Saleh memegang peranan cukup penting dalam membidani kelahiran Nahdlatul
Ulama (NU), terutama di Wilayah Blambangan. Demi menyambung perjuangan
keagamaan dan perjuangan kemerdekaan pada taraf yang lebih luas, Kyai
Saleh bergabung dengan para ulama dari daerah lain. Baik melalui
jaringan pertemanan sewaktu masih menjadi santri di Surabaya dan Madura
maupun jalinan persaudaraan dengan teman-temannya selama menuntut Ilmu
di Tanah Suci.
Dalam berorganisasi, Kyai Saleh Lateng bergabung dengan Sarekat Islam.
Pada tahun 1913 Beliau memimpin Rapat Umum Sarekat Islam yang diadakan
di Kawedanan Glenmere Banyuwangi. Selanjutnya, pada 16 Rajab 1344 H.
bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. bersama dengan tokoh-tokoh ulama
Nusantara lainnya, Kyai Saleh Lateng juga merupakan salah seorang yang
naik di atas panggung (podium) untuk turut memberikan kontribusi dan
dukungan pada pertemuan Komite Hijaz.
Pada hari yang kemudian dikenal sebagai hari kelahiran Nahdlatul Ulama
ini, Kyai Saleh Lateng ditunjuk oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab
Hasbullah untuk menjadi anggota Muassis-Mukhtasar (formatur) pembentukan pengurus Nahdlatul Ulama yang pertama.
Sikap Anti Penjajahan
Dalam mendidik para santri dan masyarakatnya untuk menentang penjajahan,
Kyai Saleh Lateng bersikap keras. Beliau memilih sikap konfrontatif
hingga melarang anak-anaknya belajar di sekolah-sekolah yang didirikan
oleh pemerintah penjajahan. Kyai Saleh melarang keluarga dan para
santrinya untuk memakai celana, melepas Kopyah dan mengikuti
kebiasaan-kebiasaan Belanda. Kyai Saleh juga mengutus beberapa anaknya
ke medan perang gerilya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selama masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Kyai Saleh aktif
mengikuti perkembangan perjuangan rakyat Indonesia melalui siaran Radio
Republik Indonesia (RRI) dan surat kabar. Hal ini dilakukan untuk
mengecek keberadaan santri-santrinya yang sedang dikirim ke garis depan
pertempuran dan medan gerilya. Kyai Saleh menyokong perjuangan
bersenjata melalui dukungan dana dan doa kepada santri-santrinya yang
akan dikirim ke medan laga.
Karena tindakan-tindakannya membantu perjuangan kemerdekaan, Kyai Saleh
juga sempat menghadapi kejaran Belanda dan harus menghindar keluar dari
Lateng ke Pakistaji. Di sinilah, Beliau bertemu dengan salah seorang
anggota pasukan yang pernah dipimpinnya. Anggota pasukan ini juga sedang
di kejar-kejar oleh intel Belanda. Kyai Saleh pun kemudian menolongnya.
Anggota inilah yang kemudian menceritakan bahwa sebenarnya, Kyai Saleh
Lateng terlibat secara langsung di garis depan ketika memimpin sepasukan
laskar rakyat dalam penyerbuan terbuka (saat berkumandangnya Resolusi
Jihad) ke Surabaya.
Kyai Saleh lateng juga termasuk orang yang sangat tegas dalam menolak
kompromi dengan pemerintah penjajah. Pernah pada masa-masa akhir
penjajahan Belanda di Indonesia, Kyai Saleh ditawari oleh bantuan oleh
Belanda untuk pembangunan pesantrennya. Bahkan konon, Van Der Plass
sendiri yang datang menemui Beliau. Namun bantuan ini ditolak
mentah-mentah oleh Kyai Saleh.
Kyai Shaleh juga memiliki andil dalam pembentukan awal awal kementrian
Republik Indonesia. Menurut cerita, suatu ketika, Menteri Agama Republik
Indonesia pertama KHA Wahid Hasyim mencari kitab yang akan digunakan
sebagai pedoman pembentukan organ kementrian. Konon menteri agama
mencarinya ke seluruh pondok pesantren kenalannya, namun belum juga
menemukannya.
Maka KHA Wahid Hasyim kemudian mengutus seorang kurir untuk
menanyakannya kepada Kyai Saleh Lateng yang pada waktu itu masih berada
di tempat persembunyian di Pakisaji Kabat. Kurir tersebut meminta dengan
membeli atau mengganti harga atas kitab tersebut. Maka Kyai Saleh
Lateng pun kemudian memberikan kitab bernama Mu’jamul Buldan tersebut
dengan bersedia menerima separo harga dari harga semestinya. Kitab ini
merupakan salah satu sumbangan Kyai Saleh Lateng dalam pembangunan organ
Departemen Agama Republik Indonesia.
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagai seorang ulama yang telah dididik dalam norma-norma agama yang
kuat, baik di lingkungan keluarga maupun di pesantren, Kyai Saleh selalu
mengamalkan prinsip-prinsip pergaulan islami dalam bermasyarakat.
Beliau memiliki sikap yang tegas dan berani dalam menyatakan kebenaran
dan keadilan. Bahkan meski sering hal tersebut dianggap merugikan.
Sifat budi baik lainnya adalah, Kyai Saleh tidak memilih-milih dalam
pergaulan kemasyarakatan. Beliau banyak memiliki santri dari berbagai
kalangan, baik dari masyarakat santri yang taat maupun dari kelompok
keluarga para bromocorah. Termasuk pula, Kyai Saleh tidak
membeda-bedakan tingkat ekonomi para muridnya. Kyai Saleh tidak
membedakan antara santri anak orang kaya, pejabat dan rakyat miskin
kebanyakan.
Sebagaimana umumnya para ulama, Kyai Saleh sangat gemar membaca
al-Qur’an ketika sedang sendirian dan sedang tidak mengajar santri. Kyai
Saleh juga senantiasa mentradisikan pengadaan peringatan-peringatan
hari besar Islam. Termasuk peringatan Haul gurunya, Kyai Kholil
Bangkalan.
Kebiasaan-kebiasaan amar ma’ruf nahi mungkar dan disertai
dengan keteladanan dalam mentradisikan kebajikan serta tolong-menolong
antar sesama senantiasa melekat dalam diri Beliau, hingga akhir
hayatnya.
Kyai Saleh Lateng berpulang ke Rahmatullah pada malam Rabu, tanggal 29
Dzulqo’dah 1371 H. bertepatan dengan 20 Agusrus 1952 dalam usia 93
tahun. Atas Izin bupati Banyuwangi, Usman, maka jenazahnya disemayamkan
pada jarak kurang lebih sepuluh meter di sebelah selatan langgar, tempat
Beliau biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya.
Dan untuk mengenang jasa-jasa beliau, maka pada tahun 1956 DPRD
Kabupaten Banyuwangi menyepakati adanya seruas jalan dengan nama Jalan
Kyai Saleh Lateng. Meski jasad Kyai Saleh Lateng telah tertimbun di
tanah, namun jasa-jasanya senantiasa dikenang oleh seluruh masyarakat,
dan perjuangannya akan senantiasa dilanjutkan oleh santri-santri
penerusnya. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosanya dan
melimpahkan rahmat untuk kemuliaan ruhnya. Amin Wallahu A'lam bisshowab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar