Lebih
dikenal dengan sebutan Cak Nun, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27
Mei 1953 dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan
melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika
kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan
potensialitas rakyat.
Di
samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang
Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata
10-15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50
acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.
Selain
itu pemilik nama asli Muhammad Ainun Nadjib juga menyelenggarakan
acara-acara bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang
dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki.
Kenduri
Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang
dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar
kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan
sekali dan sudah berlangsung lebih dari 10 tahun.
Emha
Ainun Nadjib Rotterdam, Balanda, Juni 1984, disebuah park atau semacam
alun-alun. Pada acara Poetry International’ 1984, ia naik pentas
didampingi Zapata, pemain perkusi kelahiran Suriname yang berdomisili di
Amsterdam, belanda.
Kedua
orang yang dirubung ribuan penonton ini melempar improvisasinya dengan
kata, Zapata lewat tetabuhannya. Penonton bertepuk riuh. Di akhir
pentas, tiba-tiba ia berdzikir Laailaaha Illallah, dan Zapata segera
mengentakan gendangnya. Ketika dzikir itu berakhir dengan raungan,
Zapata menghentikan pukulannya. Akibatnya, penonton menggeliat,
terkesima, lantas lebih gemuruh bertepuk tangan.
Ia
sendiri tidak pernah ambil pusing, keseniannya itu masuk mana. “Saya
hanya ingin mengadakan pertunjukan berdasarkan prinsip sosial yang saya
miliki,” kata anak keempat dari lima bersaudara itu. Ia merintis bentuk
keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti
yang berpangkalan dirumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta.
Beberapa
kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu kali pertunjukan. Selain
manggung, ia juga mulai tertarik menjadi kolumnis. Mempelajari sastra
dari Umbu Landu Paranggi, yang sangat mempengaruhi karya tulisnya.
Ayahnya,
Almarhum M.A. Lathif, adalah seorang petani, yang pernah memiliki kuda
tunggang. “Waktu remaja, saya dulu suka naik kuda itu,” tuturnya.
Penyair yang pernah dikeluarkan dari Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo,
Jawa Timur, karena menjadi pemimpin demonstrasi ini pernah hidup di
‘jalanan’ Yogyakarta selama lima tahun (1970-1975).
Tahun
1984 s/d 1986, ia menetap di Amsterdam dan Den Haag, Belanda. Selama di
Den Haag, dari membantu Prof. C. Brower melaksanakan lokakarya tentang
agama, kebudayaan dan pembangunan. Salah satu pendiri Teater Dinasti dan
ayah dari Noe, vokalis bad Letto ini menikah dengan penyanyi Novia
Kolopaking. Pernah mengikuti festival sastra dan konser bersama Kiai
Kanjeng ke Australia, Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara
eropa.
Karya-karyanya.
· ‘M’ Frustasi (1976),
· Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
· Sajak-Sajak Cinta (1978),
· Nyanyian Gelandangan (1982),
· 102 Untuk Tuhanku (1983),
· Suluk Pesisiran (1989),
· Lautan Jilbab (1989),
· Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
· Cahaya Maha Cahaya (1991),
· Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
· Abacadabra (1994),
· Syair-syair Asmaul Husna (1994),
· Dari Pojok Sejarah (1985),
· Sastra Yang Membebaskan (1985),
· Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
· Markesot Bertutur (1993),
· Markesot Bertutur Lagi (1994),
· Opini Plesetan (1996),
· Gerakan Punakawan (1994),
· Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
· Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
· Slilit Sang Kiai (1991),
· Sudrun Gugat (1994),
· Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
· Bola- Bola Kultural (1996),
· Budaya Tanding (1995),
· Titik Nadir Demokrasi (1995),
· Tuhanpun Berpuasa (1996),
· Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
· Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
· Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
· 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
· Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
· Kiai Kocar Kacir (1998),
· Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
· Keranjang Sampah (1998)
· Ikrar Husnul Khatimah (1999),
· Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
· Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
· Menelusuri Titik Keimanan (2001),
· Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
· Segitiga Cinta (2001),
· Kitab Ketentraman (2001),
· Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
· Tahajjud Cinta (2003),
· Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
· Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta, Progress),
· Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta, Progress),
· Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta, Progress),
· Kafir Liberal (Cetakan II, April 2006, Yogyakarta, Progress),
· Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta, Progress),
· Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006, Kompas),
· Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta, Progress),
· Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta, Progress,),
· Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta, Progress),
· Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta, Progress),
· Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta, Progress),
· DEMOKRASI La Raiba Fih (Cetakan III, Mei 2010, Jakarta, Kompas),
· Spirit Journey Emha Ainun Nadjib (2012, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama),
· Tuhan Pun Berpuasa (Agustus 2012, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama),
Penghargaan.
· The Muslim News Award dari Islamic Excellence di London, Inggris (2005),
· Satyalencana Kebudayaan (2011)
0 komentar:
Posting Komentar